Gotong
royong merupakan salah satu ciri kehidupan sosial masyarakat di negeri
tercinta ini. Pola hidup kemasyarakatan ini memang telah tertanam sejak
jaman dulu. Sebagai contoh hasil gotong royong adalah berdirinya
Borobudur yang berdiri jaman Wangsa Syailendra abad ke 8.
Pada masa kini, gotong royong masih banyak dilakukan di daerah perkampungan dan pedesaan sebagai bentuk kerukunan dan kekeluargaan.
Bagi masyarakat di wilayah kota, boleh dikatakan telah terkikis oleh
kemajuan teknologi dan nilai-nilai kebersamaan yang mulai surut. Bukan karena egoisme semata tetapi karena tuntutan profesionalisme dalam pekerjaan sehingga waktu amat sedikit terluangkan untuk kegiatan ini.
Bagi masyarakat pedesaan yang kehidupan masyarakatnya
masih terasa kekerabatannya, kegiatan gotong royong masih sering
dilaksanakan. Baik dalam kegiatan keluarga seperti dalam pesta
perkawinan atau khitanan maupun membangun rumah. Juga dalam kegiatan
kemasyarakatan seperti bersih desa, membangun pos kamling, dan
membersihkan jalan serta selokan.
Masyarakat Suku Tengger melakukan gotong royong ini biasa disebut dengan istilah gugur gunung. Bedanya, pada masyarakat Suku Tengger gotong royong
bukan hanya di lakukan hanya di wilayah desanya tetapi keluar jauh dari
tempat tinggal mereka. Bahkan bisa sampai sekitar 5 – 10 km dari desa.
Sesuatu yang jarang dilaksanakan di tempat lain. Bisa saja mereka
memberi upah untuk para pekerja mengingat pendapatan perkapita mereka di
atas rata-rata karena wilayahnya yang subur. Namun bagi mereka semangat
kekeluargaan, kekerabatan, dan kebersamaan lebih berharga daripada
nilai uang yang harus dikeluarkan untuk membangun sesuatu.
Pertengahan 2011
yang lalu, masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadisari bergotong royong
meratakan debu, pasir, dan bebatuan kecil yang keluar dari perut Bromo
saat terjadi letusan di akhir 2010 dan awal 2011. Gotong royong ini
dilakukan beberapa kali mengingat medan yang cukup berat dan luas.
Tepatnya persis di bawah anak tangga menuju puncak Gunung Bromo.
Bagi masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas tak berbeda dalam gugur
gunung membersihkan jalan dari semak belukar, perdu, dan ilalang yang
cepat tumbuh subur menutupi pandangan di jalan terjal, berliku, dan
gelap tertutup pepohonan yang tinggi.
Pada awal 2007, masyarakat Suku
Tengger di Desa Ngadas juga bergotong royong secara serempak membuka
lahan untuk membangun gedung Sekolah Menengah Pertama. Selama itu
pendidikan tingkat SMP masih satu atap dengan SD Negeri Ngadas.
Akankah sikap gotong royong sebagai tanda kerukunan, kekeluargaan, dan kekerabatan ini bisa ditumbuhkan di wilayah perkotaan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar